Kesalahan tata bahasa di
media televisi memang sering sekali terjadi dan paling banyak terjadi saat
liputan langsung atau berita kilat. Biasanya si reporter atau jasa interpreter
(apalagi yang masih pemula) akan terlihat kebingungan menyusun kata untuk
menyampaikan beritanya, apalagi jika waktu tayangnya dipanjang-panjangkan.
Kalau sudah begini, akan keluar segala macam kesalahan tata bahasa dan
penyusunan kata yang kadang-kadang menggelikan.
Tebakan saya sih, tidak ada mekanisme umpan
balik yang memadai, misalnya rekaman tayangannya diputar kembali, lalu
kesalahan-kesalahan itu dibahas untuk diperbaiki bersama editor/ahli yang
khusus ditunjuk, apakah cara seperti itu bisa dijalankan di televisi?
Dengan istilah "lebih sering" di
televisi berarti di media cetak juga terjadi, apalagi kualifikasi penggarap
media cetak juga beragam. Ada yang bagus, biasa-biasa, dan ada juga yang
rendah. Mengapa kesalahan kalimat di televisi lebih sering, karena deadline
mereka sangat ketat sehingga sangat mungkin tak cukup waktu untuk mengedit.
Dan, bila si reporter atau jasa interpreter (pemula) harus bicara langsung di
layar, menyusun kalimat yang baik adalah tantangan yang tidak mudah. Dulu saya
berteman dekat dengan seorang reporter atau jasa interpreter televisi swasta
nasional, waktu saya bertugas di Jakarta 1995-1997, jadi bisa tahu tantangan
yang mereka hadapi. Pergulatan antara kemacetan dan jadwal tayang berita
misalnya. Pernah terjadi ada berita penting yang dimasukkan saat anchor sudah
masuk ke ruang siaran dan tayangan berita secara langsung sudah dimulai pukul
15.00 sore. Gambar diedit dan naskah disusulkan ke ruang siar. Begitulah,
tantangan yang dihadapi reporter atau jasa interpreter televisi. Satu hal lagi,
ada perbedaan pengelolaan kebahasaan di media cetak dan televisi. Di televisi,
berita dibacakan atau disampaikan oleh anchor atau reporter atau jasa
interpreter dan pemirsa hanya mendengarkan sedangkan di media cetak bahasa
langsung dibaca oleh konsumen atau pembaca. Dengan demikian, pengelola media
cetak punya tantangan atau tuntutan lebih besar untuk menyajikan bahasa secara
lebih baik, walaupun tentu saja kualitasnya beragam sesuai dengan kapasitas
pengelolanya. Saya beberapa kali juga menemukan penggunaan bentuk aktif yang salah
di media tulis. Ada satu contoh yang sekarang tampaknya bertambah umum. "Dalam penggerebegan itu menangkap
seorang bandar ekstasi" Perbaikan kalimat ini: (1) Jadikan kalimat ini
kalimat pasif. (2) Tambahkan subjek. Mungkin kalimat itu jalannya: ... polisi
...dalam penggerebegan itu menangkap seorang .. (Ibu tidak mendengar ... polisi
... nya). Kalau subjeknya sudah diketahui dan dianggap tidak perlu diulang,
boleh saja subjek itu tidak dipakai namun untuk itu bentuk kalimat yang benar adalah
kalimat pasif: Dalam penggerebegan itu seorang bandar ekstasi ditangkap. Atau,
jika kenyataan ada yang ditangkap yang ingin ditekankan, maka yang ditekankan
itu dapat diletakkan dimuka: Dalam penggerebegan itu DITANGKAP seorang bandar
ekstasi. Kalimat ini masuk dalam kategori kalimat tanpa subjek (kesalahan yang sering
dibuat). Dalam penggerebegan itu /polisi/ menangkap seorang ... Saya pikir
mestinya juga "ditangkap", bukan "menangkap". Sepertinya
memang penggunaan bahasa Indonesia di media massa kadang (atau sering ya?)
tidak efektif dan keliru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar